Rekayasa Riya

Kita seringkali terpesona oleh penampakan-penampakan lahiriah yang ditangkap
oleh mata kita. Begitu pula jika kita ingin mempengaruhi orang lain, kita
selalu merekayasa penampilan atau penampakkan lahiriah kita. Yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah upaya manusia untuk m...engatur penampakkan
lahiriahnya supaya dinilai orang lain bahwa ia adalah orang alim atau
orang saleh yang dekat kepada Allah swt.
Upaya rekayasa itu di dalam Islam disebut dengan Riya. Riya berasal dari
kata ra’a yang berarti melihat. Secara harfiah, Riya berarti mengatur
sesuatu agar dapat dilihat oleh orang lain. Riya adalah mengatur perilaku
kita agar dilihat oleh orang lain dan tujuan akhirnya, agar orang lain
itu akan menyimpulkan bahwa kita ini orang saleh. Bagaimana bila kita
mengatur penampakkan (appearance) kita bukan untuk dinilai sebagai orang
saleh melainkan agar dinilai sebagai orang kaya? Hal itu tidak disebut
Riya karena yang ingin kita ciptakan bukan citra orang saleh melainkan
citra orang kaya. Hal itu tidak apa-apa bila tidak dilakukan secara berlebihan.
Mengatur penampilan kita dalam sebuah wawancara kerja, supaya kita diterima,
tentu saja tidak merupakan suatu dosa.
Suatu hari Rasulullah saw berangkat bersama Aisyah untuk mengunjungi
sahabatnya. Mereka tiba di suatu sumur. Rasulullah saw becermin kepada
air sumur itu dan memperbaiki serbannya kemudian menyisir rambutnya. Aisyah,
seperti biasa, sangat pencemburu. Ia bertanya, “Mengapa kau lakukan itu,
Ya Rasulallah?” Rasulullah saw menjawab, “Allah swt senang kepada seorang
manusia yang bila ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya, ia menampakkan
penampilan yang sebaik-baiknya.” Bila kita kedatangan tamu atau bila kita
akan bertamu, kita harus memakai pakaian kita yang paling bagus dan memperbaiki
penampilan kita. Hal itu merupakan sunnah Rasulullah saw. Mengatur penampilan
seperti itu tidak merupakan Riya.
Riya hanya berlaku di dalam ibadat. Di luar itu tidak kita sebut dengan
Riya. Kita tidak boleh melakukan Riya walaupun sedikit. Rasulullah saw
bersabda, “Ketahuilah bahwa Riya itu haram dan orang yang Riya itu dimurkai
Allah swt.”
Al-Quran surat Al-Ma’un ayat 4-6 mengecam orang-orang yang Riya di dalam
salatnya: Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang
lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya. Di dalam Al-Quran,
Tuhan selalu memuji orang-orang yang salat, kecuali dalam surat Al-Ma’un.
Dalam ayat lainnya, yaitu ayat 10 surat Fathir, Allah berfirman: Dan orang-orang
yang melakukan makar, bagi mereka azab yang pedih, dan makar mereka pasti
tidak akan beruntung.Al-Quran menyebut orang yang melakukan Riya di dalam
ibadatnya sebagai orang yang sedang melakukan makar kepada Tuhan. Mereka
menipu Tuhan; seakan-akan mereka beribadat kepada Tuhan padahal mereka
beribadat kepada manusia. Itulah makar yang paling besar. Mereka melakukan
tipuan kepada Allah dan kaum beriman padahal sebetulnya mereka menipu
diri sendiri hanya mereka tidak menyadarinya saja.
Lawan dari Riya adalah ikhlas. Ikhlas ialah membantu orang lain karena
Allah dan tidak mengharap balasan serta terima kasih. Sementara Riya ialah
membantu orang lain karena mengharap akan balasan atau paling tidak ucapan
terima kasih. Kadang-kadang kita tidak mengetahui bahwa yang kita lakukan
adalah Riya. Ketika kita mengetahuinya bahwa orang lain, yang telah kita
tolong, malah berbuat jelek terhadap kita, kita sering memutuskan untuk
tidak lagi menolongnya. Itu pertanda bahwa kita menolong karena mengharapkan
balasan. Orang yang betul-betul ikhlas tidak akan memperhitungkan apakah
orang yang ditolong akan membalas atau berterimakasih. Meskipun demikian,
kita harus mendidik orang agar selalu berterima kasih. Orang yang tidak
bisa berterima kasih tidak akan pernah bahagia di dalam hidupnya. Ia akan
menderita gangguan psikologis. Orang yang bahagia adalah orang yang penuh
dengan rasa terima kasih kepada orang-orang di sekitarnya.
Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Jakfar Al-Shadiq as meriwayatkan
Rasulullah saw bersabda, “Akan datang kepada manusia satu zaman ketika
orang itu buruk secara batiniah tetapi secara lahiriah mereka tampakkan
kebaikannya. Mereka mengharapkan dunia dan tidak mengharapkan apa yang
berasal dari Tuhan mereka. Agama mereka adalah Riya yang tidak disertai
rasa takut. Allah akan menimpakan kepada mereka siksa, yang sekiranya
mereka berdoa dengan doa seperti orang yang akan tenggelam, Tuhan tidak
akan mengijabah doa mereka.”
Doa orang yang beramal dengan Riya tidak akan diijabah Tuhan. Yang paling
berat, orang yang melakukan Riya akan kehilangan seluruh amalnya di hari
kiamat nanti. Pada hari kiamat, orang yang Riya akan dipanggil Allah dengan
empat gelaran, “Ya ghadir, ya fajir, ya khasyir, ya fasiq. Hai si penipu,
si durhaka, si perugi, si fasik!”
Sayidina Ali kw berkata, “Ada tiga tanda orang yang Riya. Dia sangat
rajin beribadat bila ada orang yang melihatnya, dia malas bila sendirian,
dan dia sangat senang jika dipuji dalam urusannya.”

Kiat Melakukan Riya

Berikut ini akan ditunjukkan kiat-kiat untuk melakukan Riya. Hal ini dilakukan
untuk mendiagnosa diri kita apakah telah jatuh ke dalam Riya atau tidak.
Menurut Al-Ghazali, Riya dilakukan dengan menggunakan lima hal. Pertama,
dengan menggunakan tubuh kita. Kita bisa menampakkan kesalehan dengan
merekayasa tubuh kita. Al-Ghazali mencontohkan tubuh orang yang dikuruskan
untuk menunjukkan bahwa orang itu berpuasa setiap hari, atau orang yang
menampakkan bekas sujud di dahinya (yang ia buat dengan menggosok-gosokkan
dahinya ke tempat sujud) untuk menampakkan ketekunan dalam beribadat.
Tentu saja, tidak semua orang yang kurus tubuhnya dan ada bekas di dahinya
adalah orang yang Riya. Contoh lain adalah orang yang sengaja menggetarkan
tubuhnya ketika shalat untuk menunjukkan betapa khusyunya orang itu dalam
shalatnya.
Kedua, yang dipakai sebagai alat untuk Riya adalah pakaian atau penampilan
lahiriah. Misalnya, di zaman dahulu orang memakai pakaian yang compang-camping
untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang sufi. Pakaian yang ia pakai
terbuat dari kain kasar untuk menunjukkan hidupnya yang sederhana. Bahkan
ada orang yang dengan sengaja mengusutkan rambutnya dan menyimpan tanah
di atasnya. Ia melakukan hal ini karena ia pernah mendengar sebuah hadis
yang meriwayatkan Rasulullah saw ketika memasuki masjid dan menemukan
orang yang rambutnya kusut dan tertutup debu. (Pada waktu itu, masjid
Nabi tidak beratap sehingga orang yang banyak beribadat di masjid, rambutnya
akan tertutupi debu yang terbawa angin padang pasir.) Melihat orang itu,
Rasulullah saw bersabda, “Ada orang yang rambutnya kusut masai dan tertutup
debu. Sekiranya dia berdoa, Tuhan akan mengijabah doanya.” Tanda untuk
menampakkan kesalehan yang lain adalah dengan memakai serban, membawa
tasbih, dan memakai baju khusus. Sekali lagi, tidak semua orang yang memakai
pakaian seperti itu adalah orang yang Riya.
Ketiga,Riya dilakukan dengan ucapan atau perkataan. Ada orang yang mengatur
pembicaraannya supaya ia dikenal orang sebagai santri. Ia selalu mengutip
ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Ia tampakkan kesalehan itu dengan mengeluarkan
kata-kata suci dari bibirnya.
Keempat,orang melakukan Riya dengan perbuatan atau perilaku. Misalnya
orang yang salat dengan memanjangkan ruku dan sujudnya untuk menampakkan
kekhusyuan. Ketika ia mengimami orang banyak, ia baca surat yang panjang
sementara ketika ia salat sendirian, ia baca surat yang pendek. Ia menghapalkan
surat-surat yang panjang hanya untuk dipertunjukkan kepada orang lain.
Amal itu ia pergunakan untuk menimbulkan kesan kesalehan. Menampakkan
kesalehan melalui ibadat-ibadat ritual adalah hal yang mudah. Tapi bila
Riya itu ditampakkan melalui sedekah atau membantu orang lain adalah hal
yang sulit, karena hal itu memerlukan pengorbanan.
Kelima, orang melakukan Riya dengan menunjukkan kawan-kawannya atau
orang-orang saleh yang ia kenal. Di dalam Psikologi Sosial ada yang dinamakan
dengan Gilt by Association, artinya ‘cemerlang’ karena hubungan baik.
Maksudnya, agar seseorang dikenal sebagai orang yang hebat atau orang
yang mulia, ia ceritakan sahabat-sahabatnya. Ia suka menceritakan hubungannya
dengan orang-orang yang terkenal.
Satu hal yang penting, tidak semua perbuatan kita untuk mengatur perilaku
kita adalah Riya. Bila kita atur penampakkan lahiriah kita untuk, misalnya,
memberikan contoh yang baik kepada orang lain; supaya orang lain mengikuti
teladan kita, maka hal itu bukanlah Riya. Riya tidak diukur dari kelihatan
atau tidaknya sebuah amal tapi diukur dari tujuan amal itu dilakukan.

Riya jangan digunakan untuk menilai orang lain tapi gunakan untuk menilai
diri sendiri.

Riya dan Hubbul Jah

Kalau kita merekayasa perilaku kita dengan maksud agar orang lain menganggap
kita orang terhormat, pintar, atau kaya, hal itu tidak disebut dengan
Riya. Perilaku seperti itu, bila sedikit dilakukan, tidak apa-apa. Tetapi
bila dilakukan berlebihan, maka hal itu disebut hubbul jah, kecintaan
kepada penghormatan. Itu merupakan dosa.
Orang yang jatuh kepada hubbul jah selalu ingin agar dirinya diperlakukan
istimewa. Berikut salah satu contoh di antaranya: Apabila seseorang berusaha
menampilkan dirinya begitu rupa sehingga orang menilainya sebagai eksekutif
yang berkelas (misalnya dengan memakai pakaian mahal yang didesain khusus
dan parfum dari luar negeri, yang ia beli bukan atas alasan praktis melainkan
alasan gengsi), maka ia tidak memiliki penyakit Riya melainkan penyakit
hubbul jah, kecintaan akan penghormatan.
Seorang muslim terlarang untuk berusaha mencari penghormatan dari manusia.
Dia harus berusaha mencari penghormatan dari Allah swt. Kalau perlu, dia
rela menanggung kemarahan dari makhluk, asalkan mendapat rida dari khalik.
Orang yang menderita hubbul jah, malah bersedia menanggung resiko dibenci
Tuhan asal disukai orang banyak.
Seorang Riya mengatur perilakunya dalam ibadat untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt dengan maksud agar orang menilai dirinya sebagai orang
saleh yang taat beragama dan berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis
Nabi. Orang seperti ini tidak ingin disebut sebagai orang yang hebat,
berkedudukan tinggi, berpangkat, atau orang yang kaya. Dia hanya ingin
dinilai orang sebagai orang yang saleh. Untuk itu dia merekayasa perilakunya.

Perbedaan Riya dengan yang bukan Riya adalah amat tipis. Semua itu terpulang
kepada hati nurani masing-masing. Ada orang yang berusaha memakai busana
muslim misalnya peci, untuk menunjukkan bahwa dia orang alim tapi ada
juga orang yang memakai peci, untuk menutupi rambutnya yang menipis.
Meskipun hal itu masalah hati nurani, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi
orang yang Riya. Ciri orang Riya adalah ia punya dua wajah; wajah publik
dan wajah privat. Wajah publik adalah penampilan yang ia tampakkan di
hadapan umum sedangkan wajah privat adalah penampilan yang ia tampakkan
di lingkungan yang terbatas. Bila ia salat di depan orang banyak (di hadapan
publik), salatnya amat rajin sementara ketika ia salat sendirian (di lingkungan
privat), salatnya menjadi malas. Contoh lain adalah seseorang yang selalu
melakukan salat sunat di masjid tetapi selalu meninggalkannya ketika ia
di rumah. Orang tersebut akan menambah amalnya bila di hadapan orang banyak
dan mengurangi amalnya bila ia sendirian. Ketika di hadapan orang banyak,
ia akan sangat memperhatikan waktu salat sementara di rumahnya, ia jarang
salat tepat waktu.

KH. Jalaluddin Rakhmat